Komunitas PEDAS: Wadah UMKM dan Pengusaha Lokal



Sharing Pengalaman
Beberapa hari lalu saya mengikuti pelatihan capacity building yang diadakan oleh balai penyedia dan pengelola pembiayaan telekomunikasi dan informatika (BP3TI)  yang bekerja sama dengan Kampung media. kegiatan ini dihadiri oleh pengelola pusat layanan internet kecamatan sentra produktif (PLIK SP) Dan usaha kecil menengah (UKM) Kota mataram.
Pelatihan  berlangsung selama 3 hari  dari tanggal 26 sampai 28 November bertempat di warung puisi jalan udayana. pada hari pertama kami diberi materi tentang  dasar-dasar berwirausaha. selain itu diperkenalkan juga bisnis dengan metode kanvas yaitu metode perencanaan bisnis dengan menggunakan selembar kertas sehingga mudah untuk mempresentasikannya dan gampang untuk mengevaluasi bisnis jika suatau saat terjadi kendala.
Di hari kedua, materi berisi tentang pemanfaatan jaringan TIK untuk pemasaran bisnis. sehingga dapat memberi kemudahan dalam bertransaksi dan promosi produk.beberapa langkah atau strategi juga diberikan dalam mengembangkan bisnis. sehingga bisnis dapat mengalami peningkatan. pengetahuan  bisnis dasa secara tuntas dikupas dalam pelatihan ini, sehingga energi untuk berwirausaha semakin meningkat.
Pengesahan PEDAS

Pada hari terakhir, tidak diberikan materi namun lebih difokuskan dalam pembentukan komunitas yang nantinya komunitas dapat terus melanjutkan materi-materi yang didapatkan dalam pelatihan dan sebagai wadah untuk berbagi pengalaman tentang usaha dan ide kretif diantara komunitas. setelah mengalami beberapa tahapan terbentuklah sebuah komunitas dengan nama PEDAS (Perkumpulan  Entrepreuner Muda Sasak) yang  sebagai ketua terpilih adalah ahmad jumaili seorang pengusaha madu asli.

Dipuncak kegiatan dilakukan penandatanganan berita acara sekaligus pengesahan komunitas PEDAS Oleh ketua kampung media Fairuz Abadi. dalam pesannya sebelum menutup kegiatan Pak Fairuz berharap komunitas ini bisa menjadi wadah sebagai peningkatan ekonomi lokal. sehingga kedepannya anak muda lebih banyak berkreativi tas dan berinovasi dalam hal berwirusaha. 
Foto Bersama

Renungan Dalam Sepi

Bagimu Agama..
Rasa KeIslamanku Kan Ku Pertahankan Sampai ku Mati..,
 

Bagimu Negara...
Rasa keIndonesiaanku Kan ku Bawa kemanapun aku Pergi...
 

Bagimu Cinta...
Rasa Sayangku kan selalu terjaga Sepenuh jiwa di dalam Hati..
 

Bagimu Sesama..
Rasa Kemanusiaanku Terus Mengalir Untuk Berbagi...

Ori Lombok
 


IKATAN PELAJAR DAN MAHASISWA DASAN BAGEK




Rapat Rutin



Dewan Perwakilan Mahasiswa FT-UNRAM




Pelantikan DPM




Silaturrahmi dan Buka Puasa Bersama

Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”

kaharuddin,ITB,pidato,lulus,terbaik.
Dok: Muh.Kaharruddin S.Pd

Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman civitas academica.

Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan SMA di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html

“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.

Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.

Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.

Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?

Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”


Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.

Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.

Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.

Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.



sumber: http://rinaldimunir.wordpress.com/2013/04/07/pidato-wisudawan-terbaik-memukau-tetapi-sekaligus-menakutkan/






Kunjungi Untuk Subscribe Yuk..